Payung Teduh, Nestapa Kehidupan Antara Titi Dan Riati

 

Payung Teduh, Nestapa Kehidupan Antara Titi Dan Riati
Penulis: Tiklas Babua-Hodja

Merajut asah di seberang pulau ibarat belati bermata dua. Kalimat pembuka ini menjadi keyakinan mendasar bahwa kisah yang bertalu-talu digenggamkan pada akhirnya harus tercerai-berai dan dibekukan oleh sandaran keyakinan fundamental. Kisah-kasih yang dirumpun dengan titah yang berbeda mengharuskan dan menghanyutkan kisah ini pada muara yang tak bertuan. Maaf seribu maaf pun tidak akan mampu menghapuskan kisah yang terlanjur membekas. 


Awal kisah dimulai sejak 3 tahun terakhir sebelum tahun 2025, hubungan romantisme telah disepakati oleh kedua pasangan yang membawah titah perbedaan pada gelanggang asmara yang terbuka. Saling mengasihi, saling menyanyangi, saling menghormati. Bertahun-tahun dan tertatih-tatih kedua pasangan ini menjalin asmara dengan tembok pemisah yang begitu akrab dan dekat untuk di jangkau. Tanpa berpikir panjang, kedua pasangan ini telah jauh menyelam kedasar cinta yang nantinya akan meluluhlantakkan jiwa dan batin dari masing-masing pasangan ini. Titi (nama samaran laki-laki) dan Riati (nama samaran perempuan) adalah pemeran fiktif belaka yang mengisi cerita singkat yang tertuang pada tulisan ini, meskipun cerita ini diangkat berdasarkan kisah nyata yang dirasakan oleh kedua pasangan yang enggan disebutkan keberadaannya. 


Berlanjut, api asmara yang menyala-nyala ditengah stigma, kedua pasangan ini memiliki mimpi bahwa perbedaan tidak akan menjadi ukuran untuk kedua pasangan ini tetap bersatu selamanya. Tetapi, mimpi itu kini harus dihentikan oleh pertemuan dari berbagai pihak yang masing-masing berpegang teguh pada asas dan wasiat yang telah dianutnya. Kembali pada prinsip dari masing-masing pasangan ini, keduanya diberatkan oleh keputusan sulit yang telah diambil secara bersama-sama. 


Dentuman ombak asmara menabrak karang dan batu cadas berhasil menghancurkan kapal yang telah disepakati untuk ditumpangi. Romansa ini mengingatkan kembali pada kisah "Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck", ketika Dialog Sengit antara Hayati dan Zainudin berangsur-angsur meneteskan air mata. 


Hayati: “Saya akan berkata terus terang kepada mu. Saya akan jujur kepadamu. Saya akan panggil kembali namamu,  sebagaimana dahulu pernah saya panggilkan, “Zainudin”. Saya sudi menanggung segenap cobaan yang menimpa diriku, asalkan kau sudi memaafkan segenap kesalahan ku. 


Zainudin: “Maaf.?, kau regas segala pucuk pengharapan ku. Kau patahkan. Kau minta maaf.? 


Hayati: “Mengapa kau jawab aku sekejam itu Zainudin.? Sudah hilangkah kenangan kita dari hatimu? Janganlah kau jatuhkan hukuman. Kasihanilah perempuan yang ditimpa musibah berganti-ganti ini. 


Percikan kisah Hayati dan Zainudin ini sebagai perumpamaan dari suatu kejadian yang sementara ini dirasakan oleh Titi dan Riati. Biarkan kisah ini menjadi refleksi yang disimpan pada file kehidupan, meramu cerita ini sebagai payung teduh. Keteguhan tulisan pada Tikar Anyaman sebagai pedoman, “Ambilah nyawaku, semoga menyuburkan masa depan mu”.


Pesan terakhir dari sang penulis Untuk Riati, Jadilah Perempuan hebat dikelak nanti, didiklah ia seperti apa yang telah kau kehendaki, pergilah sampai ke negeri Timur, agar apa yang dicita-citakan akan menyertai keberadaan mu, beri pupuk terbaik untuk bunga yang kau simpan. Bait-bait maaf tidak akan cukup untuk ditorehkan lewat risalah ini. Biarlah cerita ini menjadi ajang pendewasaan diri. Jadilah diri sendiri. Sampai bertemu di kehidupan selanjutnya nanti. Jika di izinkan, kalimat penutup sebagai kasih, hidup atau mati, Riati tetaplah Riati.



Lebih baru Lebih lama