Iklan

Penjelajah dan Penjajah; Bokimururu Adalah Sumber Mata Air Bukan Sumber Air Mata

Penjelajah dan Penjajah; Bokimururu Adalah Sumber Mata Air Bukan Sumber Air Mata

Oleh: Tiklas Babua


Bokimoruru di Sagea, Halmahera Tengah, saat ini menjadi sumber air mata dengan ribuan mata memandang ketika kawasan karst dengan aliran sungai yang dikelilingi hutan tropis tersebut dengan sekejab berubah warna menjadi kecoklatan. Geologi dan biodiversiti Kawasan Bokimoruru itu yang di gadang-gadang menjadi kawasan pengembangan Geopark (taman bumi) itu kini menjangkit mata menganga para pemangku kebijakan yang dengan senantiasa mengabaikan pencemaran karena adanya aktivitas mobil raksasa di sekelilingnya.

Haus kekayaan yang diselundupkan lewat perizinan atas aktivitas mobil raksasa yang berlebihan itu mencerminkan betapa rakusnya orang-orang yang sering membangun wacana kesejahteraan di media elektronik dan media cetak. Alunan keindahan Bokimururu seraya hanyut dengan arus cokelat yang sudah dirancang oleh orang-orang yang tamak. Siapakah yang salah? Ketika seluruh pemuda Maluku Utara menyimpan dan menyebarkan dendam lewat isi kepalanya dan menilai bahwa penjelajah adalah penjajah yang sesungguhnya. Bokimururu yang awalnya adalah sumber mata air, kini berubah menjadi sumber air mata.

Bukan kebetulan linguistik semata kalau kedua kata ini bermiripan, antara penjelajah dan penjajah. Dalam sejarah kita, penjajahan Indonesia yang berlangsung ratusan tahun itu juga berawal dari penjelajahan. Kapal-kapal Spanyol dan Portugis semula berlomba-lomba menaklukkan kejamnya Samudera Atlantik dan Hindia untuk menemukan pulau rempah-rempah eksotis, membuktikan bahwa bumi itu bulat, juga mencicip buaian surga alam tropis. Dari pengelana, lalu datanglah pedagang, pencari emas, misionaris, sampai serdadu dan senapan demi menjamin monopoli total. Selanjutnya, surga pun berubah menjadi neraka : perang, pembunuhan, kerja paksa, adu domba, perbudakan, eksploitasi, kolonialisasi berabad-abad.

Penjelajah justru mengilhami datangnya penjajah. Tulisan perjalanan beberapa abad lalu, termasuk safarnama legendaris petualangan Marco Polo itu, adalah bagian penting dalam sejarah imperialisme. Dalam catatan-catatan penjelajahan, terungkap rahasia negeri-negeri kaya dan indah laksana surga, tapi rakyatnya masih terbelakang dan mudah ditaklukkan. Ada fantasi yang lugu, ada mimpi yang tulus, datang pula ambisi yang rakus. Amerika, India, Nusantara, Afrika, Australia, satu persatu jatuh dalam kekangan penjajahan. Eksotisme dan Mistisme perjalanan justru mengundang kerakusan, nafsu untuk mengubah, hasrat menguasai.

Bukan kebetulan pula, kedua kata ini dalam kamus bahasa Indonesia adalah sinonim. Kita, yang dengan bangga menyebut diri sebagai penjelajah, pada hakikatnya juga adalah penjajah. Kita, bertopeng sebagai traveler atau backpacker yang menjanjikan kemakmuran ekonomi bagi mereka, sebenarnya adalah juga imperialis yang berdalih menikmati surga di bumi dengan harga murah meriah. Turisme telah menjadikan tempat-tempat sebagai "atraksi" : "where to go" dan "what to see", bagaikan kebun binatang manusia, dengan semua kandang menampilkan eksotisme masing-masing. Tradisi yang mati dihidupkan, yang hidup di kemas ulang supaya jadi yang paling memikat, biarpun palsu yang penting laku, " dijual " sebagai komoditas, dilempar ke pasar turisme global. Para turis memilih-milih, paket mana yang paling memincut hati.

Eksploitasi turisme eksotis itu bagaikan gadis cantik yang menjual diri. Prostitusi ! ". Lihat saja, si gadis itu mendapatkan uang dari orang-orang yang menikmati kemolekan tubuhnya. Dia menikmati kekayaan itu. Dari uang itu, dia bisa beli baju bagus dan kosmetik, dirinya pun semakin bertambah cantik. Itu fakta, " tapi bisa saja suatu hari dia sadar, betapa banyak kerusakan yang dialaminya selama ini." Itu memang menjadi satu kemungkinan. Tapi mungkin juga, dia tak sadar, dia tak bisa berhenti, karena godaan uang itu terlalu kuat dan dia tak bisa bertahan hidup tanpa uang itu. Sampai akhirnya eksploitasi itu membuat dia tak lagi cantik, lalu ditinggalkan dan dilupakan semua orang.

Tapi layakkah para pelancong menuntut negeri-negeri tetap hidup dalam keterbelakangan, supaya tetap "asli",

"eksotik" dan "misterius" di ujung bumi terpencil, sebagai taman bermain di tengah deraan modernitas dunia ? Turisme adalah hubungan simbiosis dengan dilema buah si malakama. Turisme memang membawa madu berupa uang dan pembaharuan, pembangunan infrastruktur dan ekonomi, pertukaran ide dan perubahan pola pikir. Turisme mengajarkan penduduk untuk menghargai kultur mereka sendiri, mensyukuri rahmat yang mereka punya sejak sediakala. Tapi jangan lupa, turisme juga membawa sekalian berbagai jenis racun : nafsu mengeruk keuntungan, ketidakjujuran, materialisme, sifat ada-uang ada-senyum, standar ganda, komersialisasi budaya, hedonisme, pelacuran, pengemis, narkotika, kriminalitas, sampah, perusakan lingkungan, degradasi moral, penipuan, pemalakan, agresifitas, korupsi, eksploitasi, mimpi-mimpi kosong, pertapa, "suci" yang selalu berseru One dollar.

Turisme dimulai dengan pola seperti ini. Si Dia tinggal di rumahnya yang sepi dan terpencil, namun nyaman berbahagia dalam dunianya sendiri. Lalu datang si Aku, menumpang dan menikmati rumah itu, memberi tahu bahwa rumah Dia adalah surga yang paling mulia. Si Dia senang, si Aku riang. Bagi Dia dan Aku ini sama-sama adalah kebahagiaan "menemukan surga". Inilah perjalanan, penjelajahan, penemuan penuh kejutan, kebahagiaan sempurna, ketika masing-masing tidak memasang harapan apa-apa.

Semakin lama si Aku melihat rumah ini, semakin Aku merasakan betapa banyak cacatnya. Bocor disini, bolong disitu, bagus begini, jelek begitu. Surga itu harus sempurna, begitu seru Aku. Inilah ketika keserakahan datang, mulai menggiring Aku untuk " menuntut surga ".

Disisi lain, datangnya Aku yang murah hati membuat Dia berdendang menikmati madu yang Aku beri. Sungguh manis tak terkira, yang pernah Dia tahu dan rasakan selama ini. Semakin si Dia berpikir, bagaimana caranya memuaskan Aku agar memberi madu lebih banyak lagi, bagaimana caranya mengeruk keuntungan yang tanpa henti. Inilah awal hasrat untuk "mengubah surga".

Si Dia terus berdandan sampai norak, memoles rumahnya, mengecat, menyapu, memasang barisan sofa paling nyaman. Si Aku memanggil gerombolan lusinan kawan-kawannya untuk bersama mencicip sensasi surga, seraya terus memuji sambil mengiming-imingi sesendok madu pada Dia, padahal itu adalah madu murahan, beracun laksana candu. Disinilah terjadi transaksi "Jual-beli Surga".

Si Dia semakin rakus meneguk madu, berusaha mati-matian, bahkan rela menjungkirbalikkan seluruh rumah dan segala isinya demi memikat hati para Aku, yang masing-masing punya kemauan berbeda-beda. Tuntutan para Aku semakin mahal dan mewah, sambil memerintah begini-begitu sekalian juga meninggalkan sampah-sampah menjijikkan berceceran. Inilah periode "penjajahan surga", disusul "pembinasaan surga".


Baca Juga : GMKI Tobelo Layangkan Surat Terbuka Ke Presiden Jokowi Terkait Pencemaran Lingkungan Di Sungai Sagea

Lebih baru Lebih lama