Iklan

Langkah Inklusif, GMKI Apresiasi Kemenag Terkait Nomenklatur 'Yesus Kristus' dan Catatan Intoleransi terhadap Larangan Film 'His Only Son



Jakarta, Nusantaratalk.Id Pengurus Pusat Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia atau PP GMKI dengan tegas mendukung Kementerian Agama dalam perubahan nomenklatur hari libur nasional "Isa Almasih" menjadi "Yesus Kristus." Menurut Ketua Umum GMKI, Jefri Gultom, langkah ini merupakan ungkapan nyata dalam upaya menghargai keberagaman agama di Indonesia. Indonesia sebagai negara mayoritas muslim telah lama menggunakan istilah "Isa Almasih" untuk mengacu pada sosok yang oleh umat Islam dianggap sebagai Nabi Isa. Namun, istilah ini tidak selaras dengan pandangan umat Kristen dan Katolik yang meyakini bahwa Isa Almasih adalah identik dengan Yesus Kristus.

"Perubahan nomenklatur ini memberikan pengakuan yang lebih tegas terhadap keyakinan Kristen dan Katolik, serta secara simbolis menegaskan komitmen pemerintah dalam menciptakan lingkungan yang inklusif bagi semua pemeluk agama di Indonesia," kata Jefri.

Namun ditengah dukungan ini, GMKI juga memberi catatan terkait permintaan larangan film "His Only Son" oleh Wakil Ketua Komisi VIII DPR, Tubagus Ace Hasan Syadzily. Ace mengklaim bahwa film tersebut tidak sesuai dengan cerita Nabi Ibrahim versi Islam dan dapat menyesatkan umat Islam.

GMKI menolak klaim ini dan menegaskan bahwa film "His Only Son" adalah karya fiksi yang terinspirasi dari kisah Abraham dalam Alkitab Kristen. Tujuannya bukan untuk menghina atau menyesatkan umat Islam.

"Kami mengecam keras permintaan ini, Larangan penayangan film His Only Son juga dapat menimbulkan ketegangan antarumat beragama, karena larangan tersebut dapat dianggap sebagai upaya untuk membatasi kebebasan beragama serta tindakan intoleransi dan diskriminasi terhadap agama lain," tegas Jefri.

Jefri juga menekankan prinsip toleransi dan keberagaman agama yang menjadi landasan Indonesia. Menurutnya, Ace Hasan Syadzily berlebihan dalam menyikapi film ini. Menurut Jefri, film "His Only Son" dapat menjadi sarana pendidikan dan dialog antaragama yang positif.

"Film ini harusnya dianggap dapat membantu masyarakat untuk memahami perbedaan dalam pandangan keagamaan, dan untuk belajar untuk menghormati perbedaan masing-masing," tutupnya." (Kornelius).

Lebih baru Lebih lama