Di kedalaman hutan Pulau
Bacan, Maluku Utara, terbang seekor kupu-kupu bermahkota emas Ornithoptera
croesus, atau yang dijuluki “Wallace’s Golden Birdwing”. Spesies ini menjadi
lambang keindahan dan keunikan biogeografi Wallacea, serta bukti sejarah
pertemuan dua dunia fauna: Asia dan Australia. Namun, kupu-kupu yang dulu
membuat Alfred Russel Wallace terpana ini, kini justru berada di ujung tanduk
akibat ulah manusia.
Ancaman paling nyata
terhadap O. croesus datang dari pasar daring. Hanya dalam dua
hari terakhir, spesimen kupu-kupu ini muncul di situs jual beli online dengan
harga fantastis: USD 185 atau hampir tiga juta rupiah. Padahal, spesies ini
telah dilindungi secara hukum, baik di tingkat nasional maupun
internasional. Fenomena ini mencerminkan betapa lemahnya pengawasan dan betapa
rendahnya kesadaran publik terhadap perlindungan spesies langka yang hanya
hidup di pulau-pulau kecil.
Kerusakan habitat turut
memperparah tekanan terhadap spesies ini. Walau Pulau Bacan masih menyimpan
kawasan hutan seperti Gunung Sibela, pembukaan lahan, ekspansi perkebunan,
serta kegiatan tambang secara perlahan memecah habitat aslinya. Fragmentasi ini
mengganggu siklus hidup kupu-kupu, mulai dari ketersediaan tumbuhan inang
seperti mussaenda, asoka, dan gosale hingga ruang gerak untuk berkembang biak
secara alami.
Regulasi sebetulnya sudah cukup
kuat. O. croesus tercatat sebagai satwa dilindungi melalui Permen
LHK No. P.92/2018 dan diperkuat dalam P.106/2018. Perlindungannya
juga diatur dalam UU No. 5 Tahun 1990 dan daftar Appendix II
CITES. Bahkan, Uni Eropa telah menetapkan larangan impor dari
Indonesia kecuali berasal dari program penangkaran resmi. Namun, regulasi hanya
berarti jika mampu ditegakkan di lapangan dan di sinilah letak masalahnya.
Minimnya patroli, lemahnya
pemantauan perdagangan daring, serta belum adanya sistem penandaan spesimen
legal menjadi celah besar. Apalagi, struktur kelembagaan konservasi belum
ideal. BKSDA Maluku saat ini masih mengoordinasikan dua provinsi:
Maluku dan Maluku Utara. Dengan bentang wilayah seluas itu, upaya perlindungan
di wilayah seperti Bacan jelas tidak maksimal.
Sudah saatnya Maluku Utara
memiliki BKSDA tersendiri. Wilayah ini menyimpan 529 spesies invertebrata
endemik di Bacan saja—belum termasuk kekayaan hayati di Halmahera, Obi,
Morotai, dan pulau lain. Kelembagaan lokal akan memungkinkan pengawasan lebih
tanggap, kemitraan lebih kuat dengan masyarakat adat dan pemerintah daerah,
serta pelibatan universitas dalam riset-riset konservasi jangka panjang.
Status konservasi O. croesus juga
menunjukkan urgensi tindakan. Menurut IUCN Red List (2018), kupu-kupu ini
berada dalam kategori Near Threatened (NT)—dekat dengan ambang terancam
punah. Dalam catatan sebelumnya, bahkan sempat masuk kategori Vulnerable dan Endangered.
Alih-alih menjadi tanda aman, status NT justru peringatan dini: satu langkah
lagi bisa menuju kepunahan.
Studi lapangan masih minim. Riset
Abdu Mas’ud dkk. (2016) mencatat hanya 48 individu O. croesus di
berbagai tutupan lahan Bacan, dari hutan produksi hingga kawasan pemukiman.
Tanpa data saintifik yang cukup, kebijakan konservasi berisiko salah arah. Di
sinilah pentingnya penelitian jangka panjang, pemantauan populasi, serta
pelibatan ilmuwan lokal yang paham konteks ekosistemnya.
Penangkaran berbasis konservasi bisa
jadi solusi. Seperti yang dilakukan di Papua untuk Ornithoptera priamus,
program semi-natural bisa menekan eksploitasi liar, selama tetap transparan dan
berbasis ilmu. Namun, solusi ini tetap membutuhkan regulasi kuat, pengawasan
ketat, serta kerja sama lintas sektor.
Kupu-kupu ini bukan sekadar
simbol estetika tropis, tapi bagian dari jati diri ekologis Indonesia di zona
Wallacea. Menyelamatkannya bukan semata tugas ahli entomologi, tapi tanggung
jawab moral dan ekologis kita semua. Jika “emas terbang” pun bisa lenyap karena
kelalaian, apalagi yang tersisa dari kebanggaan kita sebagai bangsa dengan
megabiodiversitas?