Iklan

Ulang Tahun Maluku Utara ke 24 tahun: Masyarakat Digdaya, Hak Ulayat, Berjalan tanpa Kompas

Ulang Tahun Maluku Utara ke 24 tahun: Masyarakat Digdaya, Hak Ulayat, Berjalan tanpa Kompas

Oleh: Tiklas Pileser Babua Mahasiswa Universitas Halmahera

Perjalanan Provinsi Maluku Utara selama 24 tahun kelihatan masih merangkak dalam menata kemakmuran yang berdigdaya berbasis Sumber Daya Manusia (SDA) dan Sumber Daya Alam (SDA).

Orang-orang hebat Maluku Utara yang mewakili SDA Maluku Utara yang menduduki kursi strategis birokrasi terlihat bagai burung beo yang hobi bicara atau membangun wacana prematur infrastuktur yang mengesampingkan nilai-nilai luhur yang terkandung didalam tubuh Maluku Utara. Lihat saja, dari sektor pertambangan misalnya, para pemangku kebijakan yang mengunyah intrik feodal hanya menjadikan Sumber Daya Alam Maluku Utara sebagai kendaraan politik semata, yang didalam frasa Maluku Utara ialah; “Dorang Gale di Dara, dong pigi tutup di Lao” (Mereka mengambil sebagian hak ulayat kita di Maluku Utara, selesai itu melakukan Perjalanan Dinas di Ibu Kota, Jakarta). Ini semata-mata menggunakan hak masyarakat Maluku Utara untuk kepentingan pribadi dan memilih menjadi politisi sakti tanpa bakti.

Penataan ruang Ibu Kota Sofifi terlihat terbengkalai bak smelter perusahaan yang terus bergerak bebas takaruan di seluruh penjuru Halmahera, Maluku Utara. Ibarat rumah tanpa penghuni. Orang nomor satu di Provinsi Maluku Utara, yakni Gubernur Provinsi Maluku Utara masih belum maksimal dalam pemanfataan sumber daya alam karena tidak didukung oleh sumber daya manusia yang mumpuni. Padahal, rata-rata orang Maluku Utara terdidik oleh alam dan menjadikan alam sebagai rumah besar, rumah peradaban, rumah di mana tiap harinya menggantungkan nasib anak cucunya. Untuk itu, penting adanya apabila orang nomor satu di Maluku Utara ini melihat hal ini dengan seksama, bahwa ilmu dan adab harus jalan berdampingan.

Pemanfaatan sumber daya alam sektor pertambangan harus dibijaki oleh Gubernur Maluku Utara agar masyarakatnya mampu hidup makmur yang berasal dari perut bumi, Maluku Utara. Poinnya adalah Pemerintah Provinsi harus mampu mengendalikan investasi yang ada di Maluku Utara.

Di bidang politik, hubungan DPRD dan Pemda Provinsi masih hanya sebatas serimonial tanpa substansial. Padahal demokratis tidaknya suatu pemerintahan terlihat pada kuat tidaknya mekanisme check and balance antar institusi politik. Arah kebijakan yang dihasilkan mudah ditebak karena tanpa diskurus publik yang memadai. Padahal kebijakan yang baik harus dimulai dari ikatan keterlibatan rakyat dan elemen Civil Society.

Di usia yang ke 24 tahun ini, harapannya agar pemerintah provinsi menemukan jarum kompas yang tepat untuk pembangunan, dan kemakmuran, bukan demi kehormatan semata. Penerapan model feodal harus dilepas pisahkan agar apa yang menjadi tujuan bersama itu berasal dari hati nurani rakyat Maluku Utara.

Lebih baru Lebih lama