Mahasiswa S2 Departemen Politik Pemerintahan Universitas Gadjah Mada
Kabupaten Raja Ampat dikenal secara luas sebagai salah satu destinasi wisata bahari terindah di dunia. Wilayah ini menawarkan pesona alam bawah laut yang luar biasa serta kekayaan biodiversitas yang tinggi. Keunikan geografis dan daya tarik ekowisatanya menjadikan Raja Ampat sebagai magnet utama bagi para pelancong baik itu dari dalam negeri maupun mancanegara. Dengan potensi wisata sebesar itu Kabupaten Raja Ampat seharusnya memiliki peluang besar dalam meningkatkan pendapatan sektor pariwisata yang tidak hanya akan memperkenalkan daerah ini secara lebih luas ke panggung nasional dan internasional tetapi juga meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakatnya. Potensi luar biasa ini semestinya bisa dimanfaatkan secara maksimal oleh pemerintah daerah dan juga masyarakat lokal guna memperoleh manfaat ekonomi yang signifikan serta memperkuat fondasi pembangunan wilayah.
Meskipun Raja Ampat memiliki kekayaan pariwisata yang luar biasa pemanfaatan potensinya masih belum optimal oleh pemerintah dan masyarakat setempat. Berdasarkan audit BPK selama satu tahun terakhir di Provinsi Papua Barat Daya diketahui bahwa Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Raja Ampat pada tahun 2023 hanya mencapai Rp34 miliar jauh di bawah PAD Kota Sorong yang mencapai Rp147 miliar. Hal ini mengejutkan mengingat Raja Ampat merupakan destinasi utama pariwisata di wilayah tersebut. Namun Kota Sorong kerap menjadi pintu gerbang utama menuju wilayah Papua Barat Daya sehingga berperan sebagai titik transit utama bagi para wisatawan sebelum mereka melanjutkan perjalanan ke Raja Ampat. Situasi ini menunjukkan adanya ketimpangan dalam distribusi manfaat ekonomi dari aktivitas pariwisata. Kota Sorong justru memperoleh pendapatan yang jauh lebih tinggi daripada Raja Ampat meskipun bukan merupakan destinasi akhir wisata. Data PAD tahun 2023 yang lebih tinggi di Sorong dapat menjadi indikasi terjadinya fenomena “economic leakage” yaitu kondisi di mana transaksi ekonomi wisatawan banyak terjadi di kota transit seperti Sorong bukan di daerah tujuan wisata utama seperti Raja Ampat. Wisatawan cenderung membelanjakan uang mereka di Sorong untuk keperluan seperti akomodasi, konsumsi, dan logistik sehingga pajak serta retribusi yang timbul dari aktivitas tersebut mengalir ke kota tersebut bukan ke Raja Ampat. Jika kondisi ini terus berlangsung maka potensi ekonomi dari sektor pariwisata di Raja Ampat akan sulit dioptimalkan karena pendapatan yang seharusnya diperoleh justru "bocor" ke wilayah lain.
Audit BPK juga menunjukkan bahwa Raja Ampat sangat bergantung pada transfer pusat, seperti DAU, DAK, dan Otsus sementara PAD hanya mampu menutupi 10%–20% dari total belanja daerah. Hal ini mengindikasikan lemahnya kemandirian fiskal sehingga kemampuan daerah untuk mengelola pembangunan secara mandiri sangat terbatas. Selain itu pengadaan barang dan jasa di daerah banyak dilakukan oleh penyedia dari luar seperti Sorong dan Makassar yang mengungkapkan bahwa rantai pasok lokal belum berkembang secara optimal. Kapasitas UMKM lokal juga masih rendah karena program pemberdayaan yang ada belum efektif sedangkan keterbatasan infrastruktur logistik semakin menghambat distribusi barang dan jasa di Raja Ampat.
Fenomena kebocoran ekonomi dalam konteks destinasi wisata bukanlah hal baru. Dalam jurnal yang ditulis oleh Archer dan Fletcher (1996) berjudul "Tourism Economic Leakage in Developing Countries: The Case of Small Island Destinations" mereka menjelaskan bahwa destinasi wisata di wilayah kepulauan kecil cenderung mengalami kebocoran ekonomi. Hal ini disebabkan oleh ketergantungan tinggi terhadap pasokan barang dan jasa dari luar serta dominasi investasi asing dan perusahaan non lokal sehingga uang yang dibelanjakan wisatawan tidak sepenuhnya terserap oleh ekonomi lokal. Hal serupa juga ditemukan oleh Wahab dan Pigram (2000) dalam jurnal mereka "The Impact of Tourism Leakages on Local Economies: A Case Study of Bali". Mereka menemukan bahwa sebagian besar pengeluaran wisatawan tidak terserap oleh pelaku usaha lokal sehingga mengurangi efek multiplikasi ekonomi yang seharusnya mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat. Jika dikaitkan dengan kondisi Raja Ampat maka dapat diasumsikan bahwa salah satu penyebab terjadinya economic leakage di daerah ini adalah belum optimalnya sistem rantai pasok lokal. Banyak kebutuhan wisata yang masih bergantung pada barang dan jasa dari luar daerah termasuk dari Sorong sehingga pendapatan dari wisatawan tidak sepenuhnya masuk ke perputaran ekonomi lokal Raja Ampat.
Ada beberapa langkah konkret yang bisa dilakukan untuk mengembangkan potensi ekowisata Raja Ampat secara optimal. Pertama, optimalisasi pemanfaatan dana desa untuk mendukung pembangunan infrastruktur penunjang pariwisata, perbaikan layanan publik, serta memberikan dukungan terhadap pengembangan usaha mikro dan kecil yang berkaitan dengan sektor pariwisata. Kedua, memperkuat rantai pasok di tingkat lokal melalui pengembangan produk-produk lokal seperti kerajinan tangan, kuliner khas daerah, serta layanan pemandu wisata berbasis komunitas. Hal ini bertujuan agar keuntungan ekonomi dari sektor pariwisata bisa lebih merata terserap oleh masyarakat lokal. Ketiga, pentingnya membangun kemitraan strategis antara pemerintah pusat dan daerah. Dalam hal ini sinergi antara Pemerintah Kota Sorong dan Pemerintah Kabupaten Raja Ampat menjadi sangat penting agar kebijakan fiskal yang dibuat bisa lebih inklusif, responsif, dan mampu menjawab tantangan-tantangan lokal secara nyata. Untuk mengatasi masalah economic leakage secara menyeluruh diperlukan implementasi strategi otonomi fiskal yang efektif dan terencana. Strategi ini dapat mencakup perumusan insentif fiskal yang mendorong tumbuhnya UMKM lokal kemudian pelatihan dan pendampingan bagi pelaku usaha dalam mengembangkan produk unggulan serta pembangunan infrastruktur yang dapat meningkatkan aksesibilitas dan kenyamanan wisatawan. Selain itu penting untuk dilakukan evaluasi dan pemantauan secara berkala terhadap distribusi pendapatan dari sektor pariwisata guna memastikan efektivitas kebijakan yang diterapkan dan mengurangi ketimpangan antara daerah pusat dan daerah tujuan wisata.
Secara keseluruhan meskipun Raja Ampat memiliki potensi pariwisata yang luar biasa besar dengan keindahan alam bawah laut serta keanekaragaman hayatinya yang sudah diakui secara global pemanfaatan terhadap potensi ini masih belum mencapai hasil yang optimal akibat terjadinya economic leakage. Sebagian besar aktivitas ekonomi wisatawan masih terpusat di Kota Sorong yang berfungsi sebagai gerbang masuk utama ke wilayah tersebut. Referensi dari Archer dan Fletcher (1996) serta Wahab dan Pigram (2000) menunjukkan bahwa ketergantungan pada pihak eksternal serta tidak kuatnya pelaku ekonomi lokal menjadi penyebab utama dari kebocoran ekonomi yang terjadi. Hal ini diperkuat oleh rekomendasi dari UNWTO (2018) yang menekankan pentingnya pemerataan distribusi pendapatan melalui kebijakan fiskal yang adil. Oleh karena itu penerapan otonomi fiskal , penguatan ekonomi lokal, optimalisasi dana desa, serta kolaborasi lintas pemerintahan menjadi langkah penting yang perlu segera diambil untuk memastikan keberlanjutan sektor pariwisata dan peningkatan kesejahteraan masyarakat Raja Ampat.