Iklan

Beban Pembuktian Dalam Hukum Acara Mahkamah Konstitusi

Beban Pembuktian Dalam Hukum Acara Mahkamah Konstitusi


Pembuktian dalam konteks Hukum Konstitusi adalah sebuah proses yang digunakan untuk mencari kebenaran materiil dari fakta hukum, peristiwa hukum, dan hukum yang diajukan oleh pihak yang mengajukan permohonan. 


Tujuan dari pembuktian dalam perkara konstitusi tidak hanya untuk menegaskan kebenaran secara formal, tetapi juga untuk memberikan kepastian tentang kebenaran materiil yang diperlukan untuk memutuskan suatu perkara.

 

Dalam konteks Mahkamah Konstitusi, proses pembuktian ini melibatkan penggunaan alat bukti yang relevan dengan kasus yang sedang dipertimbangkan, serta keyakinan hakim dalam menafsirkan dan menerapkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945). Hal ini berarti bahwa Mahkamah Konstitusi menggunakan bukti-bukti yang disajikan oleh pihak-pihak yang terlibat dalam perkara, seperti dokumen, saksi, atau ahli, dan kemudian hakim menggunakan penilaian mereka sendiri untuk memutuskan perkara tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip yang tertuang dalam UUD 1945.

 

1.    Alat Bukti

Pasal 36 UU MK menguraikan alat bukti yang digunakan para pihak untuk membuktikan dalilnya. Alat bukti ini disesuaikan dengan sifat hukum acara MK sehingga agak berbeda dengan alat alat bukti yang dikenal dalam hukum acara perdata, hukum acara pidana maupun hukum acara peratun. Macam-macam alat bukti yang dapat diajukan ke Mahkamah Konstitusi adalah:

  1. surat atau tulisan;
  2. keterangan saksi;
  3. keterangan ahli;
  4. keterangan para pihak;
  5. petunjuk; dan
  6. Alat bukti berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu.

 

2.    Beban Pembuktian

Secara umum terdapat beberapa teori pembuktian terkait dengan beban pembuktian dalam proses peradilan, antara lain teori affirmatif, teori hak, teori hukum objektif, teori kepatutan, dan teori pembebanan berdasarkan kaidah yang bersangkutan.

 

Teori affirmatif adalah teori yang menyatakan bahwa beban pembuktian dibebankan kepada pihak yang mendalilkan sesuatu, bukan kepada pihak yang mengingkari atau membantah sesuatu . Namun teori ini hanya terkait dengan adanya suatu hak, bukan peristiwa atau keadaan tertentu. Teori hukum objektif menyatakan bahwa pihak yang mendalilkan adanya norma hukum tertentu harus membuktikan adanya hukum objektif yang menjadi dasar norma hukum tersebut. Teori kepatutan menyatakan bahwa beban pembuktian diberikan kepada pihak yang lebih ringan untuk membuktikannya. Namun kelemahan dari teori ini adalah tidak mudah untuk menentukan secara pasti pihak mana yang dianggap paling ringan memikul beban pembuktian. Sedangkan teori pembebanan berdasar kaidah yang bersangkutan menentukan bahwa beban pembuktian ditentukan oleh kaidah hukum tertentu. Dalam hukum acara memang terdapat ketentuan undang-undang tertentu yang mengatur siapa yang harus membuktikan, namun ada pula yang tidak menentukannya.

 

Di antara berbagai teori tersebut, tentu masing-masing memiliki kelebihan dan kelemahan dan tidak ada satupun yang sesuai untuk semua perkara. Oleh karena itu harus dilihat karakteristik perkara atau kasusnya. Di dalam UU MK tidak ditentukan secara khusus tentang beban pembuktian ini.

 

Paling tidak pihak pemohon yang mendalilkan memiliki kedudukan hukum untuk suatu perkara, harus membuktikan dalil tersebut. Beban pembuktian terkait kedudukan hukum ini tentu saja tidak dapat dialihkan kepada pihak lain. Ketentuan mengenai pembuktian “bebas yang terbatas” dapat dijumpai dalam PMK yang mengatur pedoman beracara untuk setiap wewenang MK.  Pasal 58 PMK  Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang menyatakan: Pemohon membuktikan dalil Permohonan dalam persidangan.

  1. Pemberi Keterangan dan atau Pihak Terkait dapat membuktikan kererangannya,
  2. Hakim dapat memerintahkan kepada Pemohon, Pemberi Keterangan dan/atau Pihak Terkait menyerahkan tambahan alat bukti yang diperlukan dalam persidangan untuk kejelasan pemeriksaan perkara.
  3. Keterangan ahli dan atau saksi didengar keterangannya dalam persidangan setelah Mahkamah mendengar keterangan Pemberi Keterangan, kecuali Mahkamah menentukan lain.

Sebagai contoh, dalam sengketa pemilu Pilpres 2024, Mahkamah Konstitusi (MK) membutuhkan pembuktian dari pasangan calon nomor urut 2, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka. 


Pihak terkait yang dimaksud dalam hal ini adalah pasangan calon nomor urut 2, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka.


Beban pembuktian berada pada pihak pemohon, yaitu dalam hal terdapat alasan cukup kuat, Majelis Hakim dapat membebankan pembuktian kepada pihak termohon. Majelis Hakim dapat meminta pihak terkait untuk memberikan keterangan dan/atau mengajukan alat bukti lainnya.

 

Perkembangan hukum acara MK dalam praktik membutuhkan itikad dari Hakim Konstitusi dalam rangka menemukan hukum baru guna menegakkan supremasi konstitusi, demokrasi, keadilan dan hak-hak konstitusional warga negara. Hukum acara MK adalah hukum formil yang berfungsi untuk menegakkan hukum materiilnya, yaitu bagian dari hukum konstitusi yang menjadi wewenang MK. 


Hukum acara MK dimaksudkan sebagai hukum acara yang berlaku secara umum dalam perkara perkara yang menjadi wewenang MK serta hukum acara yang berlaku secara khusus untuk setiap wewenang dimaksud. Keberadaan MK dengan kewenangan yang dimiliki memunculkan kebutuhan adanya hukum baru, yaitu hukum acara, dan mengembangkannya dalam rangka menegakkan hukum di Indonesia.


Oleh, Yatatema Gea, S.H.,CTA.

Referensi,
Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Sekretariat Jenderal. dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006

PMK  Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang
 
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

 


Lebih baru Lebih lama