Oleh: Yohanes Masudede, S.H., M.H.
(Lawyer Kantor Donald &
Rekan/Pemerhati Kekuasaan)
Mahkamah Keluarga maaf salah sebut, Mahkamah Konstitusi (MK) maksudnya, baru-baru ini mengagetkan hampir semua kalangan masyarakat Indonesia karena keputusannya yang sangat kontroversi itu. Bagaimana tidak keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) pertanggal 16 Oktober 2023 kemaren yang berkaitan dengan Judicial Review UU No. 7 Tahun 2017 khususnya Pasal 169 Huruf q tentang persyaratan calon presiden dan wakil presiden dimana dalam UU ini yang menjadi capres dan cawapres berusia paling rendah 40 tahun kemudian ditambahkan dengan frasa "atau pernah/sedang menduduki jabatan yang di pilih dalam pemilu termasuk pemilihan kepala daerah"
Ada beberapa lembaga partai politik maupun perorangan yang mengajukan Judicial Review terhadap Pasal 169 huruf q yaitu antara lain, Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Garuda, serta beberapa kepala daerah dan juga mahasiswa fakultas hukum Surakarta yang bernama Almas Tsaqibbirru Re A. yang anehnya uji materi oleh partai PSI, partai Garuda dan beberapa kepala tersebut di tolak sedangkan pelajar/mahasiswa asal Surakarta di terima sebagian oleh MK. Sungguh keputusan yang aneh bin nyata yang dilakukan oleh MK sejak kehadirannya semenjak tahun 2003. Keanehan MK dapat kita lihat antara lain sebagai berikut:
Pertama, Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) telah melukai hati rakyak Indonesia. Bagaimana tidak MK sebagai lembaga yang menjalankan salah satu fungsi kekuasaan kehakiman dalam sistem peradilan Indonesia telah mengeluarkan keputusan yang sungguh sangat jauh dari harapan masyarakat karena keputusan MK yang mengabulkan sebagian permohonan pemohon yang berasal dari Solo sungguh telah melukai hati pemohon sebelumnya yang subtansinya materinya adalah sama yaitu kaitannya dengan batas usia capres-cawapres yang diatur dalam Pasal 169 huruf q UU. No.7.Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum, keputusan MK telah menunjukan sikap arogansi kekuasaan MK dalam bentuk ketidakadilan yang secara nyata dilakukan dan ditujukan kepada masyarakat pencari keadilan dalam negara demokrasi.
Kedua, Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) telah melukai hukum yang berlaku di Indonesia. Karena kalau di lihat dari kewenangan MK sendiri yang diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, yaitu: 1. Mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar. 2. Memutuskan sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar. 3. Memutus pembubaran partai politik. 4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum (pemilu). Yang menjadi sorotan dan diskusi hari ini adalah tugas MK dalam menguji UU terhadap UUD 1945. Keputusan soal Judicial Review atau hak uji materi yang di mohonkan telah mencederai semangat hukum itu sendiri dimana kita tau bersama bahwa MK sebagai negative legislator berwenang untuk membatalkan/menghapus norma yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945 bukan malah membuat norma baru.
Artinya keputusan MK itu sebatas menguji apakah UU itu bertentangan dengan UUD 1945 atau tidak? kalau bertentangan ya di tolak kalau tidak ya terimah. Melihat keputusan MK baru-baru ini secara tidak langsung dapat di maknai bahwa MK memiliki kedudukan sebagai pembuat atau positive legislator padahal MK tidak berwenang karena hal itu merupakan tugas dari pembuat norma/UU yaitu legislatif dan eksekutif. Dalam perkara putusan ini memang kalau dipelajari dari salinan putusan maka akan temukan bahwa perihal keputusan yang sama soal batas usia sudah diputuskan berulang kali oleh MK dengan putusannya di tolak karena mengenai batasan usia merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal pilicy) dari pembentuk norma/UU itu sendiri.
Ketiga, Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang sangat kontroversi itu patut di duga karena dipengaruhi oleh berbagai kepentingan para elit politik yang membentuk dinasti politik dalam kelompok tertentu. Bagaimana tidak ketua hakim MK Anwar Usman adalah adik iparnya pak Jokowi yang juga sebagai Presiden Republik Indonesia tentu memiliki power luarbiasa untuk mempengaruhi keputusan MK itu sendiri karena keputusan soal syarat menjadi capres dan cawapres juga berkaitan erat dengan salah satu putra beliau yang bernama Gibran Rakabuming (Walikota Solo) yang diisukan kuat menjadi cawapres di salah satu kandidasi capres dan hal ini juga dapat ditemukan di dalam posita dan petitum pemohon dalam uji materi Pasal 169 Huruf q UU. No.7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum.
Terakhir, Bukan
mitos tapi fakta kekuatan daya paksa oligarki kekuasaan itu sangatlah kuat
bahkan dapat merasuki semua lembaga baik eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Buktinya hari ini lembaga yudikatif seperti MK bisa melakukan keputusan yang
sangat blunder yaitu syarat batas usia calon presiden dan wakil presiden
"berusia serendah-rendahnya 40 tahun" dengan menambahkannya frasa
menjadi calon presiden dan wakil presiden "berusia paling rendah 40 tahun
atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum
termasuk Pemilihan kepala daerah". Implikasi dari keputusan MK hari ini
yaitu akan banyak orang yang akan mencalonkan diri sebagai Presiden dan wakil
presiden ke depannya walaupun usianya belum berumur 40 tahun. Di sisi lain
tidak memberikan kepastian hukum bagi setiap orang yang ingin berkontestasi
dalam hajatan pemilihan umum dan demokrasi, serta keputusan Mahkamah Konstitusi
(MK) ini merupakan yang terburuk sepanjang sejarah dan menjadikan MK sebagai
lembaga tak berwibawa pasca putusannya. Bukan lagi sebagai pelindung konstitusi
tapi sebagai pelindung kekuasaan dan dinasti politik para elit.